Menelusuri Jalan Sufi, Menggamit Etika, Moral dan Akhlak Mulia
JAKARTA, SUARALIDIK.com – Tesis Samuel Huntington tentang “Benturan Peradaban” mengungkit konflik antarnegara maupun antarkelompok dalam dunia modern yang dipicu oleh budaya.
Menurut dia konflik tersebut akan terus bergejolak dan berkepangan, tak jelas kekan dan bagaimana cara menghentikannya. Karena pasca Perang Dingin dari berbagai berbagai peristiwa besar yang muncul ke permukaan — terutama antara kubu Kristen Barat dan Islam – terkesan terus dikobarkan dengan berbagai cara oleh berbagai pihak.
Utamanya di Indonesia, terkesan terus dipelihara dan dipolitisir seperti untuk mengalihkan isu-isu besar agar masalah yang baru itu tidak sampai muncul kepermukaan.
Gerakan Moral Rekonsiliasi Indonesia (GMRI) yang sudah dimulai lebih dari sepuluh tahun silam dengan motor penggerakan utama Gus Dus, Susuhunan Paku Buwono XII, KH. Habib Khirzin dan Eko Sriyanto Galgendu, bersama sejumlah tokoh agama dan akademisi, tampaknya pun beranjak dari keprihatinan yang tidak berbeda.
Karena Gerakan Moral Rekonsiliasi Indonesia dan Forum Lintas Agama memiliki posisi yang paling strategis untuk menjawab dan menangkis maupun meredakan pergesekan atau bahkan benturan budaya – dalam skala nasional – sekaligus benturan peradaban yang melanda dunia.
Peristiwa Pengeboman menara WTC di Gedung Putih menjadi cermin buruk sebagian besar ilmuwan Barat mempunyai pandangan miring terhadap Islam.
Forum silaturachmi Umat Islam di Indonesia dalam beragam bentuk seperti Forum Alumni 212 menjadi begitu sangat dicurigai dan dibesar-besarkan rasa kekhawatiran yang berlebihan. Akibatnya pun, dari pihak lain dimanfaatkan juga untuk lebih meningkatkan eskalasi kekhawatiran itu sehingga bisa menangguk keuntungan dari keresahan yang mulai ditimbulkannya.
Kalau saja acara reuni persaudaraan alumni 212 itu dapat dipahami sebatas silaturachmi – sekedar merepatkan ikatan rasa persaudaraan antara Ummat beragama – ada baiknya bisa ditautkan secara lebih meluas dan familiar – mengikutsertakan Ummat beragama lainnya untuk lebih guyub bercampur-gaul dan berinteraksi lebih rukun dan harmonis. Sehingga kerentanan dari bentiran antar Ummat beragama pun dapat membangun ketenteraman bersama di negeri Bhineka Tunggal Ika dan Pancasila ini.
Pandangan John L.Esposito sebagai penyanggah utama tesis Samuel Huntington bahwa hubungan Islam dengan Barat sebagai suatu dialog peradaban sesungguhnya busa lebih harmoni dan guyub, karena keduanya memiliki perspektif orisinil yang khas dalam berperan dalam berbagai sapek kehidupan, termasuk politik.
Apalagi secara historis keduanya berasal dari akar keturunan yang sama, Nabi Ibrahim. The Clash of Civilization and Remaking World Order, karya Samuel P. Huntington bisa disandingkan dengan sanggahan John L. Esposito yang dia paparkan dalam bukunya yang berjudul Islam dan Politik yang merujuk pada konsep Agama dan politik.
Itulah sebabnya GMRI percaya bahwa masalah bangsa dan negara – terkait dengan masalah ekonomi, politik dan kebudayaan – hanya mungkin didingin ketegangannya oleh pemimpin spiritual, bukan oleh pemimpin politik itu sendiri, apalagi oleh para saudagar yang cuma memiliki perspektif untung dan rugi dalam sepak terjangnya.
Pemimpin spiritual itu pun, menurut Eko Sriyanto Galgendu cukup menjadi pendamping saja – sebagai penengah, atau dalam perspektif pewayangan seperti yang diperankan oleh Ki. Semar.
Atas dasar itu pula, GMRI bergairah memasuki wilayah Keraton-keraton yang ada di Nusantara ini guna menghimpun kearifan lokal yang berserakan di berbagai daerah.
Masa kegemilangan Maha Patih Gajah Mada di Kerajaaan Majapahit dapat dijadikan semacam ikon dari gerakan kebangkitan kesadaran spiritual Bangsa Indonesia untuk menyongsong masa depan yang lebih baik, lebih manusiawi dan lebih beradab melalui jalan senyap selama ini yang belum cukup banyak dilakukan, yaitu jalan Sufi yang penuh aroma dan nuansa spiritual. Sebab persyaratannya tak lebih rumit dari pemberlakuan ketentuan perjalanan selama Covid-19 – cukup berbekal etika, moral dan akhlakul karimah. Sungguh, tidak terlalu susah !
Banten – Jakarta, 29 November 2021
