iklan banner pemrov sulsel
Banner PDAM Makassar
Banner dprd wajo

Jokowi, Greenpeace dan Prinsip Kemanusiaan yang Adil dan Beradab!

waktu baca 6 menit
Opini Andre Vincent Wenas (Pemerhati Ekonomi Politik, Direktur Perspektif )||

Indonesia Mau Menjadi Bagian dari solusi, Bukan Bagian dari Problem Dunia

JAKARTA, SUARALIDIK.com – Presiden Joko Widodo bilang, “Indonesia akan dapat berkontribusi lebih cepat bagi net-zero emission dunia, pertanyaannya: seberapa besar kontribusi negara maju untuk kami? Transfer teknologi apa yang bisa diberikan? Ini butuh aksi, butuh implementasi secepatnya!”

Itu disampaikannya secara gamblang di depan forum bergengsi KTT COP26, Glasgow, 1 November 2021 yang baru lalu.

Dua pertanyaan penting Jokowi itu lebih terasa sebagai “tantangan-aksi” kepada negara-negara maju untuk segera beraksi, jangan cuma “NATO” (No Action Talk Only).

Mengajukan pertanyaan semacam itu dalam forum internasional tentu butuh kerendahan hati (bukan rendah diri lho ya!) serta keberanian yang luar biasa. Mengapa begitu?

Soal kerendahan hati tentu jelas dengan sendirinya. Seberapa besar kontribusi negara maju untuk kami? Ya, seberapa besar? Cobalah kalian sampaikan dengan gamblang dan rinci, jangan cuma omong. Dengan segala kerendahan hati kita menyampaikan pertanyaan (permohonan) ini. Kontribusi apa (what) dan seberapa besar (how much), lalu kapan (when)?

Kalau kalian semua masih mau bernapas dengan lega selama hidup di bumi ini, maka Indonesia yang saat ini juga dianggap menjadi (dijadikan) semacam “pabrik-oksigen” dunia, ya mesti dihargai juga dong. Dihargainya ya secara politis (apresiasi) maupun ekonomis (valuasi) juga dong.

Janganlah cuma jadi semacam ‘bad-samaritans’ (ala Ha-Joon Chang, ekonom Korsel yang menulis buku, ‘Bad Samaritans: The Myth of Free Trade and the Secret History of Capitalism’, 2008).

Sikon (situasi-kondisi) “persaingannya” khan memang sudah a-simestris kok. Maka, ayolah adil sejak dari pikiran. Bukankah begitu semestinya?

Jokowi tentu juga tahu bahwa ia bakal mesti menghadapi berbagai konsekuensi dengan pertanyaannya itu. Dan dalam hal ini jelas perlu keberanian untuk menanggung konsekuensi atau risikonya.

Sontak saja “keberanian” Jokowi untuk “menantang” negara-negara maju dengan dua pertanyaannya itu mendapat respon yang rupa-rupa dari berbagai kalangan.


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

perhapmi
perhapmi