DPR Menilai, Komisi ASN Hanya Mempergemuk Birokrasi Pengawasan ASN
JAKARTA — Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menilai keberadaan Komisi Aparatur Sipil Negara (Komisi ASN) hanya mempergemuk birokrasi pengawasan ASN dan tidak terkait dengan peningkatan kualitas kerja dan disiplin ASN. Oleh karena itu, DPR usul agar lembaga ini dibubarkan.
Sementara Fungsi dan kewenangan KASN akan diserahkan kepada Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi.
Usulan itu ditolak KASN dan sejumlah pihak. Menurutnya, penghapusan lembaga ini dinilai akan merusak sistem merit dalam perekrutan, mutasi, dan promosi pegawai yang sudah terbangun selama ini.
Kepada kompas.com, Wakil Ketua Badan Legislasi DPR Achmad Baidowi, mengatakan, berdasarkan pengawasan DPR selama ini, KASN lebih baik dihapus dari UU No 5/2014 tentang ASN. Keberadaannya selama ini hanya mempergemuk alur birokrasi dalam pengawasan ASN. Selain itu, terjadi saling lempar kewenangan antara KASN dan Kemenpan dan RB.
”Semangatnya adalah miskin struktur, tetapi kaya fungsi. Bukan malah kaya struktur tetapi miskin fungsi. Ya sudah daripada saling lempar kewenangan, satu pintu sajalah daripada buang-buang anggaran juga,” ujar Baidowi.
Dalam rapat pleno Baleg, Rabu (19/2), Baleg DPR memutuskan revisi UU ASN yang disetujui menjadi usul inisiatif Dewan. Tahapan selanjutnya, pimpinan DPR akan berkirim surat kepada Presiden dan mengirimkan draf revisi.
Menurut Baidowi, fungsi KASN tak ada hubungannya dengan peningkatan kualitas kerja dan peningkatan disiplin ASN. Lagi pula, rekomendasi yang selama ini disampaikan KASN tak memiliki argumentasi yang kuat. ”Kami khawatirkan (KASN) hanya akan menjadi alat politik oleh kelompok tertentu,” ujarnya.
Baidowi juga tak sepakat dengan penambahan kewenangan KASN sehingga kelak bisa mengeluarkan rekomendasi hingga memecat ASN. Apabila itu terjadi, akan terjadi tabrakan kewenangan antara KASN dan Kemenpan dan RB.
”Kalau kewenangannya diperkuat, nanti gimana dengan Kemenpan dan RB. Bisa jadi Kemenpan dan RB dibunuh sama KASN. Tak baik menjadi matahari kembar dalam bidang ASN. Pada saat yang menggaji itu Kementerian Keuangan melalui Kemenpan dan RB, tetapi yang punya kewenangan menindak, memecat, justru instansi lain. Kan, ini kacau,” kata Baidowi.
Sementara itu, Ketua KASN Agus Pramusinto tak sepakat apabila KASN disebut memiliki tugas pokok dan fungsi yang sama dengan Kemenpan dan RB. Menurut Agus, semua instansi yang bergerak di bidang ASN memiliki tugas dan fungsinya masing-masing. Kemenpan dan RB memiliki tugas membuat kebijakan, sementara KASN mengawasi ASN.
Di tengah sistem multipartai seperti saat ini, menurut Agus, penghapusan KASN tidak tepat dilakukan. Sebab, sistem politik itu membutuhkan lembaga nonstruktural independen, seperti KASN, yang mampu mengontrol pejabat pembina kepegawaian (PPK) di semua instansi, baik kementerian, lembaga, maupun pemerintah daerah. Dengan begitu, proses perekrutan, mutasi, dan promosi pegawai dapat berjalan sesuai sistem merit.
Apalagi, di tengah tahapan Pilkada 2020, KASN telah melihat adanya mobilisasi ASN. Hingga 7 April, ada 119 rekomendasi dari Badan Pengawas Pemilu terkait pelanggaran netralitas ASN. Jenis pelanggaran, salah satunya, ASN ikut deklarasi calon kepala daerah.
”Kalau enggak diawasi KASN, ASN dan PPK bisa seenaknya,” ujar Agus.
Guru Besar dan Dekan Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia Eko Prasojo menilai, kehadiran KASN sangat krusial dalam proses pengangkatan jabatan seorang ASN. Oleh karena itu, penghapusan KASN justru akan memperburuk sistem merit yang selama ini sudah terbangun.
”Yang tak suka dengan KASN karena mau mengangkat pejabat semaunya saja. KASN itu bertugas mengawasi pengangkatan jabatan sehingga profesionalitas ASN terjamin, tidak seenaknya saja. Pembubaran KASN akan memperburuk kualitas birokrasi,” ujar Eko.
Eko juga tak sependapat kehadiran KASN malah memperumit alur birokrasi pengawasan ASN. Sebaliknya, kehadiran KASN sangat membantu kerja Kemenpan dan RB.
Revisi UU MK
Terkait rencana DPR merevisi UU Mahkamah Konstitusi untuk menghapus masa jabatan hakim konstitusi dan memperpanjang masa jabatan ketua/wakil ketua, pengusul revisi, yaitu Ketua Baleg DPR Supratman Andi Atgas, mengatakan, pihaknya ingin hakim MK dan Mahkamah Agung memperoleh perlakuan yang sama, yaitu memasuki pensiun di usia 70 tahun.
Revisi UU MK itu diakui Supratman merupakan usulannya secara personal. Ia menggunakan hak inisiatifnya sebagai anggota DPR untuk mengusulkan revisi UU MK. Meskipun demikian, ia mengaku tak memiliki kepentingan apa pun dengan revisi tersebut.
Mantan hakim konstitusi Abdul Mukhtie Fadjar mengatakan, UU MK yang ada sekarang masih memadai dan tidak mendesak untuk diubah. Dengan UU yang ada sekarang, MK masih bisa bekerja dengan baik. Karena itu, revisi UU MK tak memiliki urgensi. (REK/BOW/kompas.com)