Opini: Aktivis Mahasiswa dan Perilaku Korupsi
Opini – Mahasiswa dalam kapasitasnya sebagai ‘agent of change’ dikatakan sebagai peserta didik yang kritis terhadap apa yang tejadi di sekitarnya. Namun, bukankah yang terjadi di lapangan justru sebaliknya. Mahasiswa sekarang memang kritis, tetapi hanya sedikit dari orang-orang kritis tersebut yang melakukan tindakan, lainnya hanya omong kosong belaka.
Mahasiswa adalah orang yang menghendaki perubahan, maka mahasiswalah yang harus melakukan perubahan itu sendiri. Mahasiswa harus menjadi pelopor pergerakan untuk kemajuan bangsa.
Sejarah mencatat bahwa mahasiswa merupakan inisiator berbagai peristiwa penting yang menentukan nasib bangsa Indonesia. Pergerakan Budi Utomo (1908), Sumpah Pemuda (1928), proklamasi kemerdekaan (1945), sampai dengan pergerakan mahasiswa untuk reformasi (1998). Itu adalah deretan peristiwa penting yang digawangi oleh pemuda dan mahasiswa.
Mahasiswa sebagai kaum intelektual tentu mempunya tanggung jawab untuk mencerdaskan masyarakat. Pengetahuan yang dimiliki harus dipergunakan untuk menerobos kebiasaan buruk yang berkembang di dalam masyarakat.
Namun kini, banyak mahasiswa yang mengaku aktivis, tetapi berkelakuan jauh dari cerminan aktivis mahasiswa yang menginginkan perubahan. Kebanyakan mahasiswa mampu mengkritik sistem pemerintahan, namun lupa menerapkan apa yang disuarakan itu terhadap diri sendiri.
Coba kita lihat, banyak mahasiswa bersuara dan mengatakan antikorupsi, namun perilaku keseharian selalu identik dengan korupsi. Tidak jarang pula mahasiswa menuntut transparansi informasi terhadap badan publik, tetapi laporan yang sama di rumah tangganya sendiri berantakan.
Pejabat Anti-Kritik
Melihat realita aktivis mahasiswa masa kini, tidak heran rasanya bila banyak pejabat anti kritik dan bungkam terhadap aspirasi yang disuarakan. Kalimat pembelaan dari pejabat begitu sering didengar, namun apa yang dijanjikan urung terlaksana.
Bagi aktivis mahasiswa, tentu sudah sering mendengar bagaimana pejabat mengaku pernah menjadi seorang aktivis. “Dulu saya juga aktivis sama seperti adek-adek, jadi saya mengerti apa yang adek-adek inginkan” lebih kurang demikian kalimat sakti milik mantan aktivis mahasiswa yang menduduki jabatan publik.
Mengapa mantan aktivis mahasiswa yang dulu selalu berkoar-koar menyuarakan suara rakyat malah ikut bermain di pemerintahan? Hal ini terjadi akibat ideologi setengah matang yang diterapkan selama menjadi mahasiswa. Selalu bersuara menyuarakan perubahan, namun lupa menjadi contoh untuk perubahan itu sendiri.
Hal itu pula yang menyebabkan banyak koruptor yang mengaku dahulu merupakan aktivis mahasiswa. Oleh karenanya, hal itu juga memberikan efek negatif terhadap tempat ia bernaung sewaktu mahasiswa.
Aktivis mahasiswa hendaknya dalam menyuarakan atau mengkampanyekan suatu perubahan, haruslah terlebih dahulu menerapkan terhadap diri sendiri. Jangan pernah mengaku sebagai aktivis bila masih tidak mampu menghargai waktu. Tidak mampu menjadi kepribadian yang benar antikorupsi.
Dari data Indonesia Coruption Watch 2016, dapat diambil beberapa kesimpulan penting kajian tren korupsi 2015, dapat dilihat bahwa jumlah kasus korupsi selama tahun 2015 adalah sebanyak 550 kasus korupsi pada tahap penyidikan yang ditangani Aparat Penegak Hukum (APH) dengan total tersangka sebanyak 1.124. Adapun total potensi kerugian negara dari seluruh kasus tersebut sebesar Rp 3,1 triliun dan nilai suap sebesar Rp 450,5 miliar.
Dalam kajian tren korupsi ICW sebelumnya, total kasus yang berhasil dipantau selama tahun 2010 hingga 2014 adalah sebanyak 2.492 kasus dengan total nilai kerugian negara sebesar Rp 30 triliun dan nilai suap sebesar Rp 549 miliar. Dari sejumlah kasus ini ada sekitar 552 kasus yang dikategorikan mangkrak atau tidak jelas penanganannya. Dengan kata lain, tidak ada keterangan resmi apakah apakah kasus-kasus itu telah masuk pada tahap penuntutan atau masih dalam proses penyidikan atau bahkan dihentikan.
Dan tentu saja, banyak dari pelaku korupsi yang tertangkap itu merupakan mantan aktivis mahasiswa. Dahulu sewaktu menjadi mahasiswa selalu berkoar-koar dan mengkritik kebijakan. Sedikit saja ada kesalahan dari pemerintah, langsung beraksi dengan fatwa-fatwa dan nyanyian-nyanyian revolusi. Bahkan setiap suara yang disuarakan merupakan suara rakyat yang tertindas akibat kebijakan tersebut. Namun semangat revolusioner itu seolah lenyap tanpa bekas tatkala mendapat jabatan penting di pemerintahan.
Perlu Berbenah
Melihat realita aktivis mahasiswa itu, perlu rasanya dilakukan perubahan di lingkungan mahasiswa itu sendiri. Mahasiswa harus terlebih dahulu menerapkan nilai-nilai kebaikan terhadap diri sendiri sebelum mengajak orang lain untuk melakukannya.
Mahasiswa harus mengingat kembali peran utamanya sebagai bagian dari kaum intelektual. Peran utama dari mahasiswa menurut Arbi Sanit ialah “membangkitkan kesadaran masyarakat terhadap kelalaian penguasa di dalam tugasnya menyelenggarakan pemerintahan atas nama rakyat”.
Tugas dari mahasiswa itu sendidiri sebagai agent of change adalah memberikan contoh yang baik kepada masyarakat. Bila mahasiswa berbicara antikorupsi, maka terlebih dahulu nilai-nilai antikorupsi tersebut diterapkan terhadap diri sendiri.
Aktivis mahasiswa hendaknya terlebih dahulu melakukan evaluasi diri, sebelum mengevaluasi kebijakan pemerintah. Jangan menjadi aktivis anti kritik, seperti halnya pejabat yang mengaku dahulu pernah menjadi aktivis.
Sebab, tidak mungkin masyarakat akan mengikuti kebaikan yang dikampanyekan bila yang melakukan kampanye saja melanggar apa yang hendak dikampanyekan. Sebagai contoh, bila mahasiswa ingin melakukan kampanye tertib berlalu lintas, tentu terlebih dahulu harus mampu memberikan contoh yang baik bagaimana tertib berlalu lintas itu. Mustahil orang akan mengikuti instruksi untuk tertib berlalu lintas bila yang mengkampanyekan masih melanggar.
Mahasiswa dalam melakukan suatu pergerakan harus didasari oleh kecerdasan fikiran yang lebih dari masyarakat. Hendaknya pula, apa yang disuarakan dapat diterima di lingkungan masyarakat, jangan sampai memaksakan kehendak sendiri. Sebab bila terbiasa untuk memaksakan kehendak, maka saat nanti menjadi pejabat publik juga akan menjadi pejabat yang anti-kritik.
Dalam gerakannya, mahasiswa harus berfikir dengan matang dan mengerti dengan apa yang harus dipatuhi selama menyuarakan perubahan. Harus mencerminkan budi pekerti luhur yang baik sehingga apa yang disuarakan dapat diterima dan diserap oleh masyarakat.
Kemudian setelah melakukan kajian untuk mencerdaskan internal rumah tangga sendiri, barulah masuk menusuk kedalam masyarakat. Jangan biarkan ilmu yang telah difikirkan dengan baik musnah tanpa bekas. Karena pada hakikatnya, mahasiswa itu “ berpikir, bergerak atau mati di tempat”.
Oleh : Antoni Putra
Aktivis UKM Pengenalan Hukum dan Politik Universitas Andalas