Kapitalisme : Komersialisasi Tes Corona Wajar
Opini – Semakin berwalang hati saja masyarakat dengan berbagai himpitan yang mendera mereka. Lagi-lagi karena biaya yang tak merakyat seorang warga harus rela kehilangan buah hati tercinta karena tak mampu membayar biaya swab test sebagai prasyarat operasi kehamilan. Ervina Yana mengalami penolakan oleh tiga Rumah Sakit karena tak ada yang menanggung biaya rapid tes dan swab test. Proses operasi yang harusnya disegerakan karena kondisi ibu yang mengalami diabetes dan anak memiliki bobot yang cukup besar terpaksa diundur karena berpindah-pindah rumah sakit hingga nyawa sang jabang bayi tak terselamatkan. Sungguh peran negara sangatlah nihil untuk memastikan tiap warganya tak mengalami kesulitan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan layak dan segera.
Baca Juga : Impor Menggila Disaat Wabah Pandemi
Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah, menyebut saat ini terjadi ‘komersialisasi’ tes virus corona yang dilakukan rumah sakit swasta akibat dari lemahnya peran pemerintah dalam mengatur dan mengawasi uji tes ini (bbc.com).
komersialisasi alat tes korona sangatlah tak manusiawi ditengah berbagai kesulitan hidup masyarakat hari ini. Sebagaimana solusi yang ditawarkan Trubus bahwa pemerintah harusnya menanggung semua biaya uji tes ini, baik rapid maupun swab test berdasarkan keputusan pemerintah tentang penetapan kedaruratan virus corona dan penetapan Covid-19 sebagai bencana nasional nonalam dan diperkuat dalam penetapan Perppu No.1 Tahun 2020 menjadi Undang-Undang yang salah satu isinya tentang pembiayaan penanganan pandemi Covid-19.
Komersialisasi tes korona menjadi hal yang tak terelakkan dengan kebijakan kapitalistik negara. Berdasarkan Surat Edaran Gugus Tugas (SEGT) Nomor 7 Tahun 2020, salah satu persyaratan calon penumpang transportasi umum, baik laut dan udara untuk perjalanan harus tes PCR dengan hasil negatif yang berlaku tujuh hari dan rapid test yang berlaku tiga hari pada saat keberangkatan. Anggota DPR periode 2014-2019, Bambang Haryo Soekartono menyebutkan di salah satu rumah sakit swasta, untuk rapid test, misalnya, sekitar Rp400.000 sementara tes swab PCR berkisar Rp1,5 juta(hasil test keluar dalam 10 hari), Rp3,5 juta (7 hari), hingga Rp6,5 juta (3 hari). Menurut dia, ada indikasi pandemi Covid-19 justru dijadikan ajang untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya, dan Kementerian Perhubungan bisa dikendalikan oleh kebijakan Gugus Tugas yang dinilai tidak berdasar (today.line.me).
Baca Juga : A New Normal or Fake Life?
Belum lagi Indonesia sebelumnya telah mendapatkan kucuran dana untuk penanganan Covid-19 sebanyak Rp.405,1 T. Lalu mengapa sampai hari ini terjadi komersialisasi alat tes corona yang seharusnya dana tersebut digunakan untuk pembiayaan tes corona bagi seluruh lapisan masyarakat. Jika seperti ini adakah hasil dari gembar-gembor pejabat pemerintah bahwa mereka telah secara maksimal mengurusi rakyatnya.
Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menjelaskan tingginya harga tes Covid-19 dikarenakan pemerintah belum menetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET). Pihaknya menerima banyak laporan dari masyarakat tentang mahalnya harga tes seperti rapid test, PCR, dan swab. Harusnya Pemerintah segera menetapkan harga eceran sehingga konsumen tidak menjadi obyek pemerasan dari oknum dan lembaga kesehatan tertentu dengan mahalnya rapid test. Karena masyarakat sebagai konsumen perlu kepastian harga. Selain mengatur HET pemerintah juga perlu mengatur tata niaganya. Hal ini dibenarkan Kepala Bidang Media dan Opini Publik Kemenkes Busroni mengatakan pemerintah belum menetapkan HET hingga saat ini (Kompas.com).
Namun pada dasarnya peran negara bukan hanya sekedar penentu harga untuk tes korona. Jika negara hanya sebagai regulator antara pengusaha dan konsumen maka hal ini tak memberikan dampak apa-apa dalam mengurusi rakyat. Tes korona masih bisa dijadikan barang komersial dengan memanfaatkan kondisi wabah. Robert E. Lerner dalam Western Civilization (1988) juga menjelaskan bahwa fokus utama kapitalisme adalah kelancaran produksi barang dan jasa yang terjadi secara terus-menerus.
Teranglah jika peran negara sangatlah lemah dalam mengurusi keperluan hidup masyarakat karena tidak memiliki langkah cepat dan tepat hingga harus mengorbankan jiwa rakyatnya. Maka jika hari ini terjadi komersialisasi tes korona menjadi hal wajar karena tabiat kapitalisme adalah profit bukan nilai kemanusiaan.
Dengan standar seperti ini maka sangat tidak mungkin berharap akan totalitas penanganan Covid-19 menyeluruh pada semua kalangan. Bahkan memperoleh tes secara gratis dengan menyeluruh sebagai solusi dini menangani wabah agar memisahkan yang sehat dan yang sakitpun seakan mustahil.
Seratus delapan puluh derajat berbeda bagaimana Islam melakukan penanganan untuk melindungi jiwa rakyatnya. Mengapa demikian? Karena dalam Islam konsep pemerintah adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat. Nabi SAW bersabda: “Seorang Imam adalah pemelihara dan pengatur urusan (rakyat), dan ia akan diminta pertanggungjawabannya terhadap rakyatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Sehingga menjadi pemimpin dan penguasa bukanlah untuk bersenang-senang ataupun untuk tujuan-tujuan yang tidak berfaedah menurut agama. Maka jelaslah yang menjadi fokus negara dalam Sistem Islam adalah aspek pemenuhan kebutuhan rakyat bukan untung-rugi. Apalagi menjadikan wabah sebagai momen untuk meraup untung menghisap uang rakyat dengan tes korona.
Adapun negara dalam Islam memiliki maqashid asy-syari’ah (tujuan syariah), salah satunya adalah hifzh an-nafs, yakni menjaga jiwa. Islam mengajarkan bahwa nyawa manusia harus menjadi prioritas utama. Oleh karena itu, pembunuhan dianggap sebagai dosa besar dan pelakunya mendapat sanksi yang sangat berat, yaitu qishash. Bahkan terkait dengan nyawa, Rasulullah saw bersabda, “Hancurnya dunia lebih ringan bagi Allah dibandingkan terbunuhnya seorang Mukmin tanpa haq.” (HR an-Nasa’i dan at-Tirmidzi).
Dengan demikian dalam pandangan Islam, nyawa manusia harus diutamakan, melebihi ekonomi, pariwisata, atau pun untung-rugi. Karenanya Kesehatan adalah kebutuhan pokok masyarakat yang harus disediakan oleh negara dengan kualitas yang setinggi-tingginya, sesuai dengan perkembangan sains dan teknologi pada zamannya. Para tenaga medis harus diberikan pendidikan dan pelatihan setinggi-tingginya. Standarisasi SDM, baik dokter, perawat atau tenaga medis lainnya harus diupayakan. Tidak dibolehkan adanya mal praktik dan lain sebagainya. Bahkan tak kan mungkin didapati adanya rumah sakit yang akan menolak pasien karena alasan biaya. Karena negara yang memfasilitasi secara maksimal dengan sistem ekonomi Islam yang terperinci.
Oleh : Muflihana, S.Pd. (Aktivis Muslimah)
