Impor Menggila Disaat Wabah Pandemi
Opini – Lagi…lagi impor. Dalam keadaan gawat runyam begini pun masih sempat – sempatnya pemerintah meluncurkan kebijakan impor. Bukannya memperbaiki keadaan ekonomi rakyat di tengah wabah ini, malah sibuk urus impor pangan.
Indonesia adalah negara agraris yang kaya akan hasil pertanian , namun mengapa masih sering impor bahan pangan dari luar negeri ??
Ternyata negeri subur tidak selamanya rakyatnya bahagia dan sentosa
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat impor sayur- sayuran sepanjang tahun 2019 meningkat dari tahun 2018, menjadi 770 juta dollar AS atau setara Rp 11,3 triliun (asumsi kurs Rp 14.700 per dollar AS).
Badan Pusat Statistik (BPS) juga mencatat nilai impor dari China per Maret 2020 naik signifikan sebesar 50 persen atau US$1 miliar dibandingkan bulan sebelumnya. Alhasil, total impor dari China yang pada Februari 2020 tercatat US$1,98 miliar melonjak menjadi US$2,98 miliar di tengah penyebaran virus corona. (CNN Indonesia).
Merespon hal tersebut, Direktur Jenderal Hortikultura Kementerian Pertanian (Kementan) Prihasto Setyanto mengatakan, angka tersebut didominasi oleh komoditas sayur-sayuran yang pasokannya memang masih perlu dibantu oleh impor, seperti bawang putih dan kentang industri.
“Kalau ada pengamat yang cerita impor sayuran kita meningkat di tahun 2019, dari data BPS bisa di kroscek, impor tersebut adalah terbesar bawang putih dan kentang industri. Komoditas ini masuk dalam kelompok aneka sayuran. Nyatanya kita masih butuh pasokan besar memang,” ujarnya dalam keterangan tertulis, (Kompas. com Senin 25/5/2020).
Lebih lanjut, Prihasto mengakui, pasokan dalam negeri saat ini belum mencukupi kebutuhan masyarakat, karena bawang putih tumbuh optimal di daerah sub tropis seperti China.
Selain sayuran, yang membanjiri negeri juga impor perangkat optik, fotografi, sinematografi, dan medis dari China yang meningkat 92,49 persen, dari USD 38,80 juta di Maret 2020 menjadi USD 74,69 juta di April 2020. (eramuslim.com, 15/5/2020)
Sebuah video di media sosial tengah dihebohkan dengan para petani sayur yang membuang hasil panennya ke kali di Jawa Timur. Sementara sebagian petani lainnya, memilih membagikan secara gratis sayuran ke para pengendara yang melintas di jalan.
Belakangan diketahui, aksi para petani sayuran ini dilakukan karena hasil panen mereka tak bisa dijual ke pasar, sekaligus dilakukan sebagai aksi protes agar pemerintah bisa membantu menyelesaikan masalah tersebut. (Kompas.com, Sabtu 6/5/2020).
Selain membuangnya, sebagian petani di Indonesia juga membiarkan buah dan sayurnya membusuk di pohonnya lantaran biaya angkutnya ke pasar lebih besar daripada harga jualnya.
Benar- benar miris.
Lonjakan impor terjadi saat wabah karena klaim bahwa produksi lokal turun.ini patut dipertanyakan karena kedaulatan pangan menjadi salah satu program prioritas pemerintahan yang tertuang dalam Nawacita. Bahkan pemerintah sendiri menetapkan kedaulatan pangan lewat swasembada bisa terlaksana dalam tiga tahun.
Namun yang terjadi impor pangan malah menyesaki atau membanjiri Indonesia setiap tahunnya. Yang perlu juga dikritisi pada lonjakan impor yang terjadi saat wabah. Para punggawa pun berkilah dan mengklaim bahwa produksi lokal turun hingga untuk memenuhi kebutuhan rakyat.
Juga yang lebih mengagetkan, mengapa dalih pada saat pandemi menjadikan adanya pelonggaran syarat impor. Dari segi pemenuhan kebutuhan rakyat memang harus dipenuhi oleh negara, namun tidak harus dengan impor barang. Sebab kita tahu bahwa rakyat juga mampu untuk menghasilkan berbagai barang pangan tersebut, tinggal bagaimana pemerintah memberikan support pertanian hingga mampu memproduksi dengan jumlah banyak.
Jika dipertimbangkan, impor pangan memang termasuk upaya yang mudah, ringan, fleksibel dan cepat. Serta mampu mengatasi kekurangan pangan dalam negeri. Tetapi bukankah dengan terus-terusan mengimpor dari asing justru menimbulkan masalah baru, seperti meningkatkan ketergantungan terhadap negara lain dan mematikan produksi dalam negeri.
Pasalnya sektor industri pangan tidak bergerak banyak dan kebijakan impor kerap dilakukan tanpa memperhitungkan stok dan produksi dalam negeri yang sebenarnya bisa dihasilkan sendiri.
Mengamati hal ini, Kementerian perdagangan dan pertanian berbeda sikap soal impor di masa wabah. Ini menegaskan bahwa tidak ada kebijakan yang terintegrasi untuk memenuhi kebutuhan pangan rakyat. Karenanya rencana swasembada/kemandirian produksi pangan tidak sejalan dengan peluang cukai yang ingin didapat oleh kementerian perdagangan dan kepentingan pebisnis yang mendorong pelonggaran syarat impor sampai- sampai stuasi wabah pun dijadikan alasan mendorong pelonggaran syarat impor
Salah urus pemerintah dalam sektor pangan ini tampak dalam rendahnya pasokan dalam negeri serta ketidakmampuan pemerintah dalam menjaga kestabilan harga.
Program swasembada hanyalah isapan jempol semata
Mewujudkan swasembada
Islam dengan serangkaian hukumnya mampu merealisasikan swasembada pangan. Secara umum hal ini tampak dalam politik pertanian yang akan dijalankan oleh Khilafah .
Seperti kebijakan di sektor hulu yaitu kebijakan untuk meningkatkan produksi pertanian melalui intensifikasi dengan cara ditempuh dengan jalan penggunaan sarana produksi pertanian yang lebih baik. Untuk itu, khilafah akan menerapkan kebijakan pemberian subsidi untuk keperluan sarana produksi pertanian. Keberadaan diwan ‘atho (biro subsidi) dalam baitul mal akan mampu menjamin keperluan – keperluan para petani menjadi prioritas pengeluaran baitul mal. Kepada para petani diberikan berbagai bantuan, dukungan dan fasilitas dalam berbagai bentuk, baik modal, peralatan, benih, teknologi, teknik budidaya, obat-obatan research, pemasaran, onformasi dan sebagainya, baik secara langsung atau semacam subsidi. Maka seluruh lahan yang ada produktif. Negara juga akan membangun infrastuktur pertanian, jalan, komunikasi, dan sebagainya sehingga arus distribusi lancar.
Demikianlah sekilas bagaimana syariah islam mengatasi masalah pangan. Masih banyak hukum-hukum syariah lainnya yang bila diterapkan secara kaffah niscaya kestabilan harga pangan dapat dijamin, ketersediaan komoditas, swasembada dan pertumbuhan yang disertai kestabilan ekonomi dapat diwujudkan.
Wallahu a’lam bi ash-shawab
Oleh Hariati, SKM (Aktivis Dakwah Makassar)
Tinggalkan Balasan Batalkan balasan