Catatan Kaki : Padi dan Rumput
MAKASSAR, suaralidik.com – Kenapa saya begitu tergerak untuk mensupport kegiatan-kegiatan keagamaan, karena saya sadar bahwa setelah kehidupan dunia, masih ada kehidupan lain. Jika menjalani keduniaan saja butuh bekal, maka kehidupan akhirat tentu jauh persiapan matang lagi.
Bekal terbaik itu dalam pandangan saya adalah menabur amal jariyah. Tanpa harus melakukannya setiap hari, efek pahala akan terus kita dulang. Hingga tak ada lagi yang memanfaatkannya.
Dalam bahasa yang lain, saya kerap menganalogikannya dengan menanam padi dan rumput. Falsafah padi dan rumput mengajarkan cara cerdas melangkah satu langkah untuk dua hasil. Konkritnya, jika anda tanam padi maka yakinlah akan tumbuh rumput. Sebaliknya, pasti mustahil.
Dalam kehidupan politik pun demikian. Investasi sosial mestinya diorientasikan pada titik panjangnya. Titik panjang yang saya maksudkan agar seluruh langkah kita diniatkan sebagai bekal akhirat kita sebagaimana saya maksud di paragraf awal. Selama jamaah masjid Nurul Iman Desa Batang Kecamatan Bonto Tiro menggunakan karpet untuk bersujud kepada Allah, maka selama itu pula aliran pahalanya akan juga tertulis di catatan amalku. That is….
Bisa tidak meraih keduanya…? Saya jawab bisa. Kepedulian itu akan mendekatkan kepada manusia dan di saat yang bersamaan akan dekat Sang Khalik. Di dunia dapat khasanah, di akhirat juga dapat khasanah.
Sebelum Pak Imam sebagai MC mempersilahkan naik mimbar, ada permintaan menggelitik yang dimintakan ke saya . Dia secara terbuka meminta saya untuk menyampaikan “pesan-pesan politik”. Mungkin Pak Imam tau bahwa saya masih maju lagi sebagai caleg Provinsi. Dan dalam fikirannya (mungkin) kedatangan saya juga untuk menyampaikan hal itu.
Mendapati hal tersebut, saya tak bergeming. Saya memilih untuk tidak menerima “tantangannya”. Saya kukuh hanya menyampaikan bantuan yang saya realisasikan di saat reses di desa ini beberapa waktu lalu. Tidak ada yang lain. Saya adalah anggota DPRD Prov Sulsel yang sedang berkunjung dan memenuhi kewajiban saya.
Sebenarnya bisa saja saya lakukan itu. Tapi kenapa saya urung…? Karena saya sadar bahwa ruang-ruang tempat ibadah tak pantas dan etis untuk dijadikan menyampaikan pesan-pesan politik. Saya cukup cerdas bersikap dalam urusan ini. Dan ini sejak lima tahun yang lalu di saat untuk pertama kali saya menjadi politisi.
Lalu kenapa saya bicara agama di awal catatan ini…? Karena nilai agama saya jadikan pijakan, bukan malah memanfaatkan agama untuk pergerakan politik. Cara berfikirnya yang saya jadikan landasan, bukan menungganginya. Bahwa saya penyeru moral, bukan berarti saya sempurna dan jauh dari salah, khilaf dan dosa.
Politik adalah jalan kemuliaan. Sama dengan jalan-jalan lain yang disiapkan Tuhan dalam mengisi sisa umur. Politik adalah terjemahan kewajiban sebagai khalifah dalam perjanjian primordial kita. Meninggalkan politik, sama dengan meninggalkan kewajiban- kewajiban lain untuk bermanfaat ke sesama.
Politik untuk kemanusiaan, pencerahan, pengabdian dan adu gagasan.
“Kalau ada tanyakanka apa kukerja kemarin, bilang maki, dari ka di Batang bawakanki Karpet penuhi permohonannya Jamaah d sana.Wallahu Alam,”
Arum Spink (Legislator NasDem DPRD Sulsel). (***red2)