Branding Ujian Sekolah Masih Diperlukan oleh : Kamaruddin, S.Pd.I.,M.Pd
Penilaian adalah kemestian yang mengiringi sebuah proses, untuk mengukur keberhasilan pencapaian tujuan pembelajaran secara khusus dan tujuan pendidikan pada umumnya. Maka ujian memuncaki proses penilaian pada setiap jenjang pendidikan meski dengan nama yang sedikit berbeda namun pada hakikatnya isinya sama: ujian. Dulu, namanya Ebtanas (Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional), kemudian berganti menjadi UAN (Ujian Akhir Nasional). Dari UAN mengalami sedikit perubahan dengan menghilangkan huruf “A” dinamainya UN (Ujian Nasional). Kemudian dalam rangka merespon perkembangan teknologi yang menyentuh hampir semua ranah kehidupan mau tak mau dunia pendidikan ikut beradaptasi yang selama ini peserta didik Ujian Nasional dengan menggunakan kertas dan pensil yang dinamainya UNBKP (Ujian Nasional Berbasis Kertas dan Pensil) selanjutnya menjadi UNBK (Ujian Nasional Berbasis Komputer).
Di tingkat nasional, ada namanya UN, pada level sekolah juga ada ujian berstandar nasional, disebutnya Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN), pada skala satuan pendidikan terdapat Ujian Sekolah (US). Setiap akhir semester ada namanya Penilaian Akhir Semester (PAS) untuk semester ganjil dan pada semester genap dinamainya PAT (Penilaian Akhir Tahun), sementara pada pertengahan semester berjalan ada namanya Penilaian Tengah Semester (PTS). Sedangkan untuk mengukur pencapaian setiap Kompetensi Dasar (KD) ada namanya Penilaian Harian (PH).
Tahun 2020, UN sudah berhenti bermetamorfosis. Pasalnya, Nadiem Makarim selaku Mendikbud RI telah resmi menghapus UN karena menurutnya UN hanya mampu mengukur level kognitif semata, dan tidak mampu menyelami kualitas karakter peserta didik yang malah eksistensi dan perannya sangat dibutuhkan dalam membangun bangsa. Tahun 2021 ini, bukan hanya UN atau UNBK yang tidak ada, tetapi USBN juga tinggal kenangan. Ujian yang ada bumbu “Nasional”nya sepertinya dianggap momok bagi orang tua dan peserta didik di Indonesia.
Spirit merdeka belajar, nampak tergambar pada banyak kebijakan Mas Menteri, yang karib dilabelkan kepada Nadiem Makarim (Mendikbud RI). Di antara kebijakannya adalah Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) selembar yang cukup mengagetkan juga kepada sebagian pemangku kebijakan pendidikan. Tak terkecuali kepala sekolah dan pengawas yang menjadi supervisor administrasi pembelajaran bagi guru. Ada yang merespon positif dan memberikan kemudahan kepada guru, namun tak sedikit pula yang tetap mempertahankan model lama. Pasalnya, surat edaran Mendikbud juga terkadang dimultitafsirkan dengan kalimat, “boleh menggunakan RPP selembar, boleh juga menggunakan RPP model lama.” Kata “boleh” inilah yang terkadang ambigu dalam penerapan sebuah kebijakan.
Tahun 2014, masa Anies Baswedan menjadi Mendikbud RI juga pernah menuai pro dan kontra saat mengambil kebijakan penerapan kurikulum di Indonesia antara tetap menggunakan Kurikulum 2013 atau kembali ke KTSP 2006. Dikatakan bahwa boleh menggunakan di antara keduanya, kepala sekolah boleh memilih kurikulum yang akan diterapkan di satuan pendidikannya masing-masing (baca Permendikbud RI nomor 160 Tahun 2014 tentang Pemberlakuan Kurikulum 2006 dan Kurikulum 2013). Setelah Muhajir Efendi menjadi pelanjut mendikbud RI, kebijakan kata “boleh” juga berlanjut bukan hanya dua kurikulum di Indonesia yang berlaku saat itu, tetapi juga penerapan 5 hari sekolah yang mulai berlaku tahun pelajaran 2017/208 (baca Permendikbud RI nomor 23 tahun 2017 tentang Hari Sekolah). Kebijakan tersebut populer dengan istilah full day school. Awalnya, mau diseragamkan, tetapi karena menuai protes juga, sehingga dikeluarkanlah sebuah kebijakan “boleh” lima hari sekolah dan boleh juga enam hari. Akibatnya, sejumlah sekolah di Sulawesi Selatan saja beragam pelaksanaan hari-hari sekolahnya.
Lain Anies, lain Muhajir, lain pula Nadiem Makarim. Selaku pejabat baru, beliau juga ternyata melanjutkan kebijakan “boleh”. Kurikulum 2013 sudah berlaku se-Indonesia, tetapi pelaksanaan lima hari sekolah masih berlanjut. Yang tegas adalah penghapusan UN, “Selamat tinggal UN!” USBN juga yang spiritnya menyejajarkan semua mata pelajaran (Mapel) juga berakhir di lingkup sekolah saja (baca US). Adapun untuk pemetaan nasional dalam mengukur kualitas pendidikan di Indonesia, kini telah berjalan AKM (Asesmen Kompetensi Minimum), dan survei karakter.
Kebijakan yang berbaju “boleh” sempat menjadi sorotan di awal tahun 2021 dari Nadiem adalah mengenai pelaksanaan Ujian Sekolah. Termaktub dalam Surat Edaran Mendikbud no. 1 Tahun 2021 tentang Peniadaan Ujian Nasional dan Ujian Kesetaraan serta Pelaksanaan Ujian Sekolah dalam Masa Darurat Penyebaran Covid-19 bahwa pelaksanaan Ujian Sekolah itu ada 4 pilihan, yaitu: (1) portofolio berupa evaluasi atas nilai rapor, nilai sikap atau perilaku dan prestasi yang diperoleh sebelumnya. Baik itu penghargaan, hasil perlombaan, dan lain sebagainya, (2) penugasan, (3) tes secara luring atau daring, dan (4) bentuk kegiatan penilaian lain yang ditetapkan oleh satuan pendiidkan. Itulah pilihan alternatif penilaian yang dapat memudahkan peserta didik menuntaskannya di era new normal ini.
Efek dari aturan tersebut, beragam respon muncul. Diantaranya adalah di tingkat SMA dan SMK, pelaksanaan US dilaksanakan berdasarkan Juknis yang dikeluarkan oleh Dinas Pendidikan provinsi, satu diantara isinya adalah waktu pelaksanaannya dilaksanakan secara serentak. Namun, di tingkat sekolah yang ada di daerah, ternyata pelaksanaannya tidak seragam waktunya. Terdapat sekolah yang melaksanakan ujian tes tulis dengan online menggunakan aplikasi tertentu, seperti quipper school, google classroom, goole form dan lainnya, dan terdapat pula sekolah yang berbasis kertas dengan pola tatap muka terbatas; peserta didik datang ke sekolah dengan sistem ganjil-genap (menggunakan nomor urut absen) untuk pemenuhan 50% jumlah peserta didik yang boleh berada di lingkungan sekolah sesuai standar protokol kesehatan pada masa pandemi Covid-19.
Berdasarkan pintu ”boleh,” penilaian tes tulis atau penugasan, maka banyak sekolah lebih memilih penugasan sebagai instrumen penilaian akhir sekolah. Bahkan pada awal tahun 2021 di Kabupaten Bantaeng, beredar info di kalangan perbincangan MGMP PAI (Musyawarah Guru Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam) SMA Kabupaten Bantaeng bahwa di SMK nilai US diambil dari penugasan saja. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu dan banyaknya masukan dari kalangan guru dan pemerhati pendidikan, US baik di SMA maupun SMK di Kabupaten Bantaeng semuanya adalah tes tulis, hanya saja waktunya yang tidak bersamaan, khususnya jadwal mapel yang adaptif normatif atau kategori mapel Wajib dalam Kurikum 2013 seperti Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti. SMK di Kabupaten Bantaeng sudah dimulai sejak tanggal 15 Maret 2021, sedangkan di SMA akan berlangsung pada 1 – 10 April 2021.
Ujian atau Penugasan?
Penulis sendiri yang kesehariannya sebagai pendidik di salah satu sekolah tingkat SMA di Kabupaten Bantaeng, dan juga ketua MGMP PAI SMA Kabupaten Bantaeng (2013-sekarang) dalam banyak kesempatan baik Rapat Koordinasi (Rakor) tingkat provinsi maupun Rakor di tingkat kabupaten, bahkan rapat di sekolah konsisten mengusulkan agar ujian dengan tes tulis tetap dilaksanakan. Di antara alasannya: Pertama, ikhtiar menumbuh kembangkan peserta didik di lingkungan sekolah, peserta didik tidak boleh dimanjakan. Kedua, efisiensi; kemungkinan ada peserta didik yang mendapat tugas dari gurunya yang hanya seribu rupiah saja, bahkan tak berbiaya. Akan tetapi tidak dapat dijamin kalau ada guru mata pelajaran tertentu yang bahkan beratus ribu biayanya (ongkos foto copy, sewa mobil, sewa alat, karena diharuskan menyetor ke guru yang bersangkutan, biaya pembeli kuota internet, dan lain sebagainya). Ketiga, waktu pelaksanaan dan pengumpulan nilai akan lebih cepat dan relatif lebih terkontrol jika nilai US dengan tes tulis. Keempat, keterlibatan sekolah akan lebih dinamis karena tidak semua guru mengampu di kelas XII, sehingga memungkinkan pembagian kerja untuk terbentuknya panitia kerja di sekolah yang dapat didanai oleh BOS (Biaya Operasional Sekolah), dan yang Kelima adalah “branding”.
US Harus di-Branding
Sehebat apapun penilaian guru terhadap peserta didiknya yang hanya berdasar pada tugas terkumpul maka akan ada saja peserta didik terlambat mengumpul tugasnya, bahkan mengabaikannya. Sejumlah alasan akan terurai dari peserta didik bersangkutan tanpa ditanya oleh gurunya. Beruntunglah sekiranya, peserta didik itu lebih awal meminta maaf kepada guru atas keterlambatannya. Tetapi bagaimana dengan peserta didik yang hanya menitip kepada temannya, pengerjaannya bisa saja diserahkan kepada pacarnya di kelas yang berbeda, atau kakak kandungnya yang mungkin ada di kelas lain, entahlah,.
Pengalaman juga membuktikan, selama pembelajaran daring sejak kebijakan BdR (Belajar dari Rumah) dengan menggunakan aplikasi yang berbasis online ataupun dengan tatap muka terbatas masih banyak peserta didik yang malas mengerjakan atau mengumpulkan tugasnya dengan sejumlah alasan.
Alasan lainnya adalah mengenai peristilahan: bahwa yang namanya penugasan itu sudah biasa bagi peserta didik, tetapi kalau disebut ujian, maka peserta didik akan antusias untuk mengerjakannya, semangat belajarnya juga pasti akan berbeda jika hanya diberikan tugas oleh gurunya. Pelabelan kata “Ujian Sekolah” akan memiliki kesakralan tersendiri dalam benak peserta didik, apalagi pihak sekolah terus mem-branding lebih dini mengenai urgensi US itu bagi peserta didik. menjadi akumulasi semua proses akhir penilaian kelas XII di tingkat SMA/SMK sejak ditiadakannya UNBK dan USBN. Bahkan AKM yang sempat diwacanakan sebagai pengganti UNBK kelas XII namun juga dibatalkan. Branding yang melekat pada “Ujian,” tentulah memiliki signifikansi kuat terhadap semangat belajar peserta didik dalam menjalani masa akhir belajarnya di sekolah.