BAP3MI LIDIK PRO Soroti Penyaluran PMI Melalui Agen Ilegal di Sarawak Malaysia
Malaysia, SuaraLidik.com – Koordinator II Badan Advokasi Pendampingan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BAP3MI) LIDIK PRO, Riswan Kanro Satgasus Wilayah Serawak Malaysia, Jum’at (27/09/2024) siang, yang ditemui dan berbincang langsung dengan beberapa Pekerja Migran Indonesia yang salah satu diantaranya adalah personil Relawan BAP3MI LIDIK PRO yang turut serta dalam perbicangan, yakni Muhammad Nasir Nomor Paspor/Permit E2917645/PF8440915 mengungkapkan, tidak sedikit Pekerja Migran Indonesia (PMI) yang sedang bekerja di Sarawak Malaysia tidak terjamin oleh Pemerintah Negara Indonesia lantaran mekanisme penempatan yang salah dari awal, dan bahkan bisa dikatakan sebagai orang gelap atau Pemerintah Kerajaan Malaysia menyebutnya dengan Pendatang Asing Tanpa Izin (PATI).
Misalnya saja, mereka berangkat tanpa sepengetahuan Kepala Desa, alih-alih mendaftar sebagai Tenaga Siap Kerja pada Dinas Tenaga Kerja, tapi dengan segala iming-iming dan janji manis dari pengurus/agen ilegal yang menjembatani pengurusan paspor dengan dalih melancong (berwisata) kemudian bersama-sama berangkat ke Sarawak Malaysia dan menjadi pekerja unpresedural, utamanya di perkebunan sawit tanpa diketahui pihak Pemerintah Indonesia melalui BP2MI/BP3MI Dinas Tenaga Keja di masing-masing daerah asal. “Jadi bisa dikatakan sebagai Pekerja Migran Ilegal,” jelas Muhammad Nasir, Sabtu (28/09/2024).
Hasil bincang-bincang langsung dengan beberapa PMI menurut pengalaman yang pernah mereka saksikan dan bahkan ada diantaranya yang pernah mengalami tipu daya. Agen Ilegal dimaksud, bahwa penempatan mereka beraneka ragam. Ada agen-agen ilegal yang tinggal didalam ladang sawit sekaligus sebagai perpanjangan tangan dari syarikat atau company perkebunan sawit yang dengan sadar dan sengaja menampung dan mempekerjakan Pekerja Migran Indonesia Unpresedural.
Selain itu, ia pun menjelaskan modus operasinya juga beragam seperti memindahkan PMI yang disalurkan melalui Perseroan Terbatas (PT) penyaluran resmi tenaga kerja atau Pekerja Migran Indonesia setelah dua atau sampai tiga bulan bekerja juga tak sedikit jadi korban dari janji manis agen ilegal.
Mengapa demikian, lanjut Nasir menambahkan PMI yang disalurkan dan ditempatkan secara resmi terkadang karena merasa gaji kurang atau kecil sehingga mudah terpengaruh oleh agen ilegal untuk pindah bekerja di ladang lain dengan meninggalkan dokumen diladang sebelumnya dan tanpa sadar mereka telah menjadi Imigran gelap, dan itupun kebanyakan mereka menjadi sasaran eksploitasi pekerja tanpa diberi gaji yang sesuai hasil kerja kerena ditimpakan utang transpor perpindahan dari ladang sebelumnya, dikenakan paen atau denda seperti buah mentah, tandang buruk, dan juga pemotongan dari berbagai macam kebutuhan di tempat syarikat atau company sebagai pekerja ilegal yang secara sadar menampung pekerja pelarian itu.
“Dengan adanya agen ilegal, hal ini berdampak negatif terutama bagi agen resmi perekrutan tenaga kerja meski sudah melakukan sosialisasi dan edukasi penyadaran dan pentingnya menjadi PMI resmi. Namun, hingga saat ini masih marak dan semakin meraja lela penempatan pekerja unprosedural,” ungkapnya.
Tak hanya itu, Nasir menuturkan tentang sialnya mengikuti janji manis dari agen-agen ilegal yang disinyalir tidak kurang dari seratus orang beroperasi sebagai agen ilegal yang melakoni penyaluran Tenaga Kerja Ilegal atau Pekerja Migran gelap dari berbagai wilayah dan daerah di Indonesia.
Salah satu Pekerja Migran yang enggan di publis namanya, berinisial RH (28) tahun, Nomor Paspor/Permit C8797191/PF7679491, juga turut menuturkan kisahnya bahwa dirinya sudah dua kali datang bekerja disarawak. Awal datang pertama kali bekerja sebagai buruh di ladang sawit di bawah oleh salah satu agen ilegal yang enggang ia sebutkan namanya dengan pertimbangan sesuatu dan lain hal.
Lanjut Nasir mengungkapkan bahwa dengan segala janji manis yang sangat menggiurkan waktu itu sehingga tertarik untuk ikut dan berangkat untuk mencari nafkah di Sarawak melalui jalur tikus dengan menghindari pantauan dari petugas posko pemeriksaan diperbatasan, dan kami lewat pada waktu tengah malam yang diyakini sunyi dari pemeriksaan petugas posko diperbatasan dengan berjalan kaki selama kurang lebih 18 jam dan selanjutnya ada yang jemput dengan mobil untuk diantar sampai keladang tujuan.
“Namun setelah lolos dan masuk diladang tujuan tempat kami akan bekerja, kenyataan berkata lain,” jelasnya kepada awak Media Suara Lidik bersama rombongan Tim BAP3MI LIDIK PRO, dan personil PERHAPMI yang hadir.
Sebab setelah bekerja sebagai buruh pekerja gelap alias tanpa dokumen dan sama sekali tak memiliki identitas, dirinya dan semua yang senasib dengannya merasa tidak tenang karena selalu bersembunyi dari opereasi Imigresen dan Polis Malaysia. Belum lagi memikirkan utang tambang atau transportasi yang dibebankan senilai kurang lebih Rp9.000.000, serta utang kedai dan lain-lain sebagainya terkait kebutuhan awal di tempat kerja dengan nilai utang yang bervariasi tergantung banyaknya barang yang di utang di kedai ladang, dan masih banyak lagi masalah dan kendala yang kami hadapi diladang, karena lebih banyak kami yang berstatus pekerja gelap dari pada pekerja yang ada paspor lawatan dan lain lagi yang memang ada permit bisa dikatakan hanya satu dua orang yang memiliki permit atau entry visa.
Lain pula cerita yang diungkapkan sebut saja Bunga (nama samaran) yang tak ingin identisnya di publish, ia mengisahkan dirinya saat pertama berangkat ke Sarawak bekerja sebagai buruh ladang sawit dalam penuturannya ia awal mula direkrut oleh agen resmi melalui salah satu kepala cabang sebut saja PT Angin Lalu, yang melakukan sosialisasi dan promosi sero cost (0 Rupiah) dalam perekrutan dan penempatan Pekerja Migran Indonesia. Namun faktanya menurut Bunga bahwa dalam proses pengurusan dokumen tetap mengeluarkan biaya pribadi transportasi mobil saat menuju ke Kantor Imigrasi Kelas I Makassar akomodasi (biaya makan minum dan inap) juga tetap beban biaya kami pribadi namun kami dengan terpaksa mengikuti proses itu.
Selain itu, lanjut Bunga kemudian mengisahkan bahwa tenggang waktu antara masa sosialisasi kemudian penyerahan poto copy KK, KTP, Akta Lahir, Medical Cek Up poto dan lain sebagainya itu kami bayar sendiri sampai tiga bulan. Kemudian kami beberapa orang yang mendaftar di PT itu berangkat ke Makassar untuk melakukan perekeman poto dan sidik jari pembuatan paspor di Imigrasi Kelas I Makassar dan biaya transportasi seperti yang saya sampaikan sebelumnya itu kami tanggung sendiri.
Kemudian harapan kami setelah ada paspor kami pikir sisa menunggu waktu berangkat dua atau tiga minggu, namun setelah empat bulan kami menunggu untuk di berangkatkan ternyata menjadi penantian yang tak tentu.
Dengan berurai air mata, kembali Bunga menyampaikan bahwa dirinya juga sudah kerap kali ditagi hutang oleh tetangganya karena biaya tranportasi sebelumnya dan biaya lainnya yang di pinjamnya pada tetangga rumahnya. Sambil menangis sedih mengingat kejadian saat dikampung halamannya di Kabupaten Bantaeng saat itu, Bunga juga mengatakan dirinya dan suaminya tak memiliki pekerjaan dan penghasilan tetap dan hanya mampu bertahan hidup dari hasil ia dan suaminya membantu memanen, memasang bibit dan menjemur rumput laut pada petani budidaya rumput laut yang ada di sekitar Pantai Marina Kabupaten Bantaeng saat itu.
Bunga juga memiliki seorang anak laki-laki yang sudah masuk ke Sekolah Dasar (SD) kelas satu dan dengan berurai air mata Bunga menceritakan bahwa anaknya masuk sekolah waktu itu dengan memakai sepatu bekas yang sudah robek atau koyak dalam bahasa melayu dapat pemberian dari orang. “Kami di kampung susah dapat uang pak, susah dapat pekerjaan,” pilunya.
Sambil berurai air mata kepada awak media, di tengah ketidakpastian itu suami Bunga akhirnya satu waktu bertemu dengan salah satu yang mengaku pengurus pekerja migran dan orang itu sudah sering memasukkan orang ke Sarawak Malaysia untuk bekerja diladang dengan sangat meyakinkan.
“Akhirnya Bunga dan suaminya mendesak Kepala Cabang dari perusahaan perekrutan yang sebelumnnya merekrut Bunga dan suaminya untuk meminta bukti bahwa paspor yang sebelumnya di proses oleh Imigrasi Makassar betul adanya. Dan akhirnya dapatlah kami pegang paspor itu,” ungkapnya.
Singkat cerita, Bunga dan suaminya beserta anaknya dan juga tujuh orang lainnya nekat berangkat dengan modal paspor tanpa entry visa dan masuk ke Serawak di bawa oleh agen ilegal melintasi salah satu PLBN KALBAR-SARAWAK dengan dalih lawatan dan alasan lainnya dan akhirnya lolos masuk keladang yang ternyata memang banyak pekerja migran yang sama dengan status Bunga dan rombongannya.
“Alhasil Bunga dengan segala kegetirannya hidup dirantau, dan buaian janji manis agen palsu alias agen ilegal yang sebelumnnya menjanjikan kerja mudah, gaji bagus, dan sekolah gratis diladang ternyata hanya bualan semata,” imbuhnya.
Sampailah akhirnya Bunga bersama suami dan anaknya yang telah putus sekolah untuk tetap bertahan bekerja diladang sawit selama lima tahun lebih dengan empat kali berpindah-pindah ladang, dan ditanya soal dokumen paspor yang sebelumnya diterbitkan di Imigrasi Kelas I Makassar pun sudah berakhir tahun masa lakunya. Sampai kemudian tiba pengajuan oleh pihak ladang yang sekarang ini kami tempati bekerja secara resmi untuk pembuatan dokumen paspor di kantor KJRI Kuching Sarawak, dan termasuk tak lama kemudian kami dinyatakan telah mendapatkan entry visa kerja dan resmi menjadi Pekerja Migran Indonesia.
“Alhamdulillah pak kami diladang mendapat gaji lumayan dan terkadang mengirim ke orang tua dan mertua secukupnya untuk mereka dikampung. Di ladang kami juga sudah memiliki kendaraan motor pak, karena yang cicil kami yang bayar tiap bulan dan alhamdlillah sudah dari lima bulan lalu lunas,” ujar Bunda sambil tersenyum.
Sementara Ketua Badan Advokasi Pendampingan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BAP3MI LIDIK PRO), Samsir Niko Zoni saat menanggapi laporan dari Koordinator II Bersama Relawan dan komunitas Pekerja Migran Indonesia yang ada di wilayah Sarawak, sangat menyayangkan masih adanya hal-hal yang sedemikian memprihatinkan. Betapa baiknya Negara yang memiliki UUD 45 Pasal 27 ayat 2 yang berbunyi “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak”.
“Ini keren andai kita dapat mewujudkannya dengan memastikan bahwa di seluruh daerah kabupaten/kota di Indonesia telah mampu menyajikan program cipya karya dan memiliki formulasi data angkatan siap kerja dari usia produktif semisal umur 18 sampai 45 tahun dengan dibarengi pembekalan keterampilan masing-masing bidang sesuai keinginan orang-orang atau masyarakat terkait yang masuk dalam daftar angkatan siap kerja, agar Kementerian Tenaga Kerja dan BP2MI belajar di daerah,” katanya.
Lanjut Samsir Niko Zoni menyampaikan soal agen ilegal yang melakukan janji manis saat melakukan perekrutan juga tidak perlu disalahkan dan juga tak perlu dibela sepenuhnya, sebab kemungkinan besar mereka sudah mampu mencerna, memaknai dan sekaligus menerapkan praktek kampanye pemilihan di Indonesia yang selalu sarat dengan janji-janji manis sebelum terpilih.
Untuk itu, lanjut Zoni sambil berguyon menanggapi fakta-fakta seputar nasib Pekerja Migran Indonesia, yang ada di Sarawak, kiranya kita semua saling menguatkan dan tak perlu saling menyalahkan. Dan kita jangan berhenti untuk tetap mengedukasi dan melakukan penyadaran kritis agar pejuang-pejuang devisa kita semakin bersemangat dalam berjuang mencari nafkah di negara orang dan mengingatkan masing-masing keluarga yang ada di kampung halaman sekiranya punya niat untuk mencari peruntungan di luar negeri.
“Maka ikutilah prosedur perundangan sebagaimana yang diatur dan masih berlaku dalam UU nomor 18 Tahun 2017 tentang pelindungan pekerja migran Indonesia.
Dan terakhir kita juga harus mendukung dan mendoakan semoga BP2MI/BP3MI dan Kementerian Tenaga Kerja dapat bersinergi dengan baik agar semua Dinas Tenaga kerja di daerah terutama Bidang Ketenagakerjaan dapat mewujudkan formulasi pengimputan data Pekerja Perseorangan/Mandiri sebagaimana yang di jamin oleh Undang-Undang, agar kesan penindasan rakyat melalui kebijakan yang miring dapat kita luruskan, serta nilai-nilai keadilan sosial dan persatuan Indenesia tetap utuh,” tutupnya.(*)
