banner pemprove sulsel
banner pemkot makassar new
banner DPRD Kota Makassar 2024

Sesat Pikir Pilkada Melalui DPRD

waktu baca 3 menit

Jakarta, Suaralidik_com. Isu mengembalikan pemilihan kepala daerah ke DPRD semakin berhembus kencang, wacana ini menuai pro kontra yang luas di tengah masyarakat karena telah disuarakan langsung oleh Presiden Prabowo Subianto. Jika dicermati secara seksama wacana mengembalikan pemilihan kepala daerah ke DPRD bukan sesuatu yang baru, di masa pemerintahan SBY dan Jokowi wacana serupa juga pernah muncul. Pada prinsipnya upaya mengembalikan pemilihan kepala daerah ke tangan DPRD tidak sesuai dengan semangat demokrasi yang susah payah diperjuangkan melalui jalur reformasi di tahun 1998.

Alasan yang digunakan untuk membenarkan pilkada lewat jalur DPRD lebih mencerminkan kekeliruan berpikir. Pertama, politik uang, pilkada langsung dinilai menyuburkan politik uang, pertanyaan besarnya apakah pilkada melalui DPRD menghilangkan politik uang? Tidak, yang terjadi justru perpindahan ruang politik uang dari masyarakat ke DPRD, sama sekali tidak ada jaminan bahwa politik uang akan hilang bila pilkada digelar lewat DPRD, bahkan tidak menutup kemungkinan permainan politik uang di DPRD akan jauh lebih “gila” dibandingkan di tengah masyarakat. Dalam praktik politik uang, satu suara masyarakat awam hanya dihargai puluhan hingga ratusan ribu, namun hal itu tidak akan terjadi di DPRD, anggota legislatif berpeluang besar meminta mahar jutaan hingga milyaran.

Menjadikan pilkada lewat jalur DPRD sebagai solusi menghentikan politik uang ibarat memberi resep yang salah kepada pasien, penyakit tidak berhenti tapi tambah parah. Jika ingin berpikir adil maka penghentian praktik politik uang di pilkada hanya bisa dilakukan dengan hadirnya komitmen para kandidat untuk tidak melakukan politik uang, di bagian ini dibutuhkan integritas, karena hanya kandidat dengan integritas yang kuat yang mampu menahan godaan politik uang, integritas akan terbentuk bila kandidat sebelumnya telah mendapatkan pendidikan politik maksimal untuk menghindari politik uang, sehingga pendidikan politik untuk mencegah politik uang tidak bisa hanya diarahkan kepada masyarakat tapi juga wajib diberlakukan kepada figur yang akan bertarung dalam pilkada. Para kandidat juga harus menyadari bahwa politik uang bukan faktor penentu utama memenangkan kontestasi, faktanya banyak pemilih yang hanya menerima uang namun tidak memilih kandidat.

Kedua, pilkada langsung turut menyuburkan praktik korupsi, secara substansi pemberlakuan pilkada tidak langsung bukan merupakan jaminan menekan praktik korupsi, jika ingin jujur terhadap kenyataan pilkada tidak langsung tetap membuka ruang bagi praktik korupsi dalam bentuk suap menyuap, mundur sedikit ke era Orde Baru, kepala daerah dipilih oleh DPRD di masa itu, faktanya korupsi, kolusi, dan nepotisme tumbuh subur di masa itu, bahkan KKN yang tidak terkendali menjadi salah satu penyebab runtuhnya pemerintahan orde baru.

Suara rakyat tidak bisa diwakilkan ke DPRD selaku pihak yang selalu mengaku sebagai wakil rakyat, sudah terlalu banyak fakta dimana kehendak legislatif tidak mencerminkan kehendak rakyat, terlebih dalam soal memilih kandidat, anggota legislatif akan memilih berdasarkan kepentingannya, bukan berdasarkan kepentingan rakyat.

Elit politik bangsa ini terlanjur terbiasa mencari solusi dengan cara lari dari masalah, mengasumsikan pilkada lewat DPRD sebagai solusi menghentikan politik uang dan menutup celah korupsi adalah tindakan berupaya mencari solusi dengan lari dari masalah, akibatnya yang diklaim sebagai solusi justru sebenarnya bukan solusi, di sisi lain masalah tidak terselesaikan karena tidak serius diselesaikan.

Zaenal Abidin Riam / Direktur Eksekutif PUSKAPI (Pusat Kajian Pemilu Indonesia)


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

perhapmi
perhapmi